Jangan menunda haji
                    Kategori : Haji Ekspatriat, Ditulis pada : 22 Juli 2025, 18:12:21
                
                “Andai Aku Tak Menunda”
Namanya Pak Burhan, seorang pengusaha sukses berusia 67 tahun. Hidupnya bergelimang kemudahan. Rumah besar, mobil mewah, tabungan lebih dari cukup. Sejak usia 40-an, ia sudah berkali-kali ditanya oleh teman dan keluarganya:
"Pak Burhan, kapan berangkat haji? Bukankah sudah mampu?"
Ia selalu tersenyum dan menjawab santai,
“InsyaAllah nanti saja, masih banyak urusan bisnis yang harus dibereskan. Lagipula, aku ingin berangkat saat sudah benar-benar tenang dan longgar.”
Tahun demi tahun berlalu. Usianya terus bertambah. Panggilan haji pun berkali-kali menghampiri—bukan hanya dari panitia KBIH, tapi dari dalam hatinya sendiri. Tapi selalu ada alasan: proyek besar, pernikahan anak, membangun cabang usaha baru.
Hingga pada usia 66 tahun, tiba-tiba tubuhnya mulai melemah. Kaki kirinya kerap kesemutan, dan napasnya mulai tersengal saat naik tangga. Setelah diperiksa, dokter menyampaikan dengan hati-hati:
“Pak Burhan, Anda mengalami komplikasi saraf dan jantung. Untuk perjalanan panjang seperti ke Tanah Suci… sebaiknya dipertimbangkan ulang. Bisa berbahaya.”
Pak Burhan terdiam.
Sepanjang malam ia merenung. Ia pandangi foto-foto Ka’bah yang dulu hanya ia lihat sepintas di media sosial, sambil berkata dalam hati,
“Ya Allah… Aku mampu. Tapi aku menunda. Kini tubuhku sudah tak sekuat dulu. Apa aku masih Kau undang?”
Air matanya jatuh. Ia sadar: kekayaan telah meninabobokan niatnya, hingga ia kehilangan kesempatan beribadah haji saat fisiknya masih mampu. Ia tak pernah merasakan derasnya air mata di Arafah, ketulusan di Muzdalifah, atau haru ketika mencium Hajar Aswad. Ia tak pernah tahu nikmatnya melepaskan dunia dalam ihram putih dan berdiri sejajar dengan jutaan manusia yang hanya membawa satu hal: kerendahan di hadapan Allah.
Ia mencoba mendaftar haji khusus, berharap bisa berangkat meski harus didampingi perawat. Tapi hatinya tahu, itu bukan lagi tentang sekadar berangkat. Ia merindukan pengalaman jiwa, yang tak bisa digantikan oleh fasilitas.
Suatu sore, ia duduk di beranda rumahnya, memandangi langit senja. Dengan suara lirih, ia berbisik:
“Andai waktu bisa kuputar… Aku tak akan menunda.”
Hikmah Cerita:
Jangan menunggu tua untuk berhaji. Fisik dan waktu adalah karunia yang tidak bisa dibeli. Jika engkau telah mampu secara finansial dan aman, jangan tunda panggilan-Nya. Sebab waktu tidak menunggu, dan panggilan haji adalah kehormatan yang belum tentu datang dua kali.